Memiliki anak lebih dari satu ternyata memiliki tantangan sendiri. Lahir dengan kondisi yang berbeda perlu kecakapan orang tua untuk mendidik, membesarkan dan mengasuhnya.
Ibu Mariska memiliki tiga anak yang memiliki karakter berbeda. Si sulung (laki-laki kelas 5 SD) menjadi anak yang bertanggungjawab dan suka mengalah. Si anak tengah (laki-laki kelas 3 SD) menjadi pembuat onar karena berani menantang kakaknya dan selalu membuat adik bungsunya menangis. Si bungsu (perempuan 4 tahun) menjadi anak yang sering menangis dan penakut. Bagaimana sebaiknya?
Seperti yang dialami ibu Mariska, banyak orangtua merasa penasaran, benarkah posisi sebagai anak sulung, tengah, dan bungsu berpengaruh terhadap kepribadian mereka? Jika memang demikian, apakah ada perlakuan khusus untuk si sulung, tengah, dan bungsu?
Setiap anak memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dihargai.
“Urutan kelahiran mempengaruhi perkembangan kepribadian” merupakan pandangan yang pertama kali dikemukakan oleh seorang tokoh psikologi yaitu Alfred Adler. Adler menekankan bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dihargai. Namun, urutan kelahiran memberikan pengalaman yang berbeda bagi anak sulung, anak tengah dan anak bungsu dalam hal pemenuhan kebutuhannya untuk dicintai dan dihargai, sehingga membentuk kepribadian yang berbeda pula. Hal ini berhubungan dengan cara pengasuhan orangtua yang biasanya disesuaikan dengan urutan kelahiran anak.
Anak sulung biasanya mendapat perhatian penuh dari kedua orangtua, terutama bila kehadiran buah hati sangat dinantikan. Oleh karena belum berpengalaman menjadi orangtua, maka anak sulung biasanya diperlakukan dengan ekstra hati-hati, dan setiap kemajuan perkembangan anak didokumentasikan dengan detil. Semua rencana terbaik, berbagai bentuk stimulasi, dan harapan positif yang diimpikan orangtua diberikan pada si anak sulung. Maka, si anak sulung terbentuk menjadi pribadi yang kompeten, berhati-hati, dan menginginkan kesempurnaan / perfeksionis.
Ketika anak kedua lahir, perhatian keluarga yang semula berpusat hanya pada diri si sulung mendadak hilang, dan semua orang terfokus pada kehadiran adik baru. Perasaan diabaikan mendorong si sulung untuk berusaha memperoleh kembali posisi istimewa dalam keluarga, sehingga ia berusaha untuk menyenangkan orangtua.
Di sisi lain, sebagai anak sulung ia diberi tanggungjawab dan “power” yang lebih besar dibandingkan adik-adiknya, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan memiliki harga diri yang tinggi. Si sulung biasanya juga dibiasakan menjaga dan mengajari adik-adiknya, sehingga ia terlatih untuk bertanggungjawab, dapat diandalkan, dan berjiwa pemimpin.
Ketika mendapat anak kedua, orangtua tidak lagi merasa terlalu khawatir dalam mengasuh anak, karena sudah lebih berpengalaman dari si sulung. Perhatian pada si anak tengah juga makin berkurang ketika lahir anak ketiga. Hal ini menyebabkan si anak kedua merasa kurang dicintai dibandingkan saudara-saudaranya. Maka jadilah ia anak yang kurang patuh pada orangtua.
Anak tengah biasanya mengkompensasikan hal ini dengan hubungan baik dengan teman-temannya. Ia memiliki ketrampilan sosial yang baik, populer, memiliki banyak teman, memiliki kemampuan mediator dan negosiator yang handal. Ia kurang menyukai konflik tetapi punya kemampuan mengatasi konflik.
Saat mengasuh anak bungsu, orangtua lebih rileks dan cenderung tidak otoriter pada anak. Perhatian dari seluruh anggota keluarga tertuju pada si bungsu. Semua pihak mengalah demi si bungsu, tapi sebagai anak paling kecil ia juga sering dianggap “tidak bisa melakukan apa-apa”. Maka si bungsu berkembang menjadi pribadi yang ceria, banyak kawan, senang menjadi pusat perhatian, namun ia juga manja, kurang bertanggungjawab, kurang mandiri, tidak mematuhi aturan dan mementingkan diri sendiri.
Yettie Wandansari, S.Psi., M.Si.,
Psikolog