Event Report: “Good Enough Parenting, Connection & Acceptance” by Alin & Johnson

Jumat, 10 Februari 2017 kemarin, para orang tua Growing Kid School  mengikuti kegiatan Parenting Seminar. Tema Parenting Seminar kali ini adalah “GOOD ENOUGH PARENTING : CONNECTION & ACCEPTANCE”. Disebut good enough karena sebagai orang tua kita harus menjadi orang tua yang cukup baik untuk anak-anak kita sendiri. Cukup baik berarti tidak terlalu mengekang ataupun membebaskan, jadi segala sesuatunya diusahakan seimbang dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Sedangkan connection and acceptance yang artinya membangun suatu hubungan/komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak, serta bagaimana orang tua menerima anak dengan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.

Tema GOOD ENOUGH PARENTING ini dibagi menjadi empat bagian/seri. CONNECTION AND ACCEPTANCE merupakan bagian pertama tentang bagaimana menjadi orang tua yang good enough. Bagaimana menciptakan koneksi dan menerima anak merupakan kebutuhan psikis anak yang paling mendasar dan bertujuan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan merasakan adanya diskoneksi dan penolakan.  Perasaan diskoneksi dan penolakan yang muncul dari anak-anak ini bukanlah masalah yang sepele karena akibatnya akan berdampak panjang pada sikap/perilaku anak dalam hidup bermasyarakat, berumah tangga, dan bekerja di masa depan.

Perasaan diskoneksi dan penolakan yang timbul dalam hati anak-anak biasanya disebabkan oleh perilaku orang tua yang sering mengecilkan mereka (mengatakan bahwa mereka bodoh/tidak bisa melakukan apa-apa), perfeksionis dan berkondisi (menuntut sangat tinggi/tidak sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas anak-anak, mencintai anak tapi dengan syarat misalnya: mama sayang kamu kalau kamu nilainya 100), mengontrol (menganggap anak tidak bisa sehingga perlu dibantu dalam berbagai hal, anak akan menjadi tidak mandiri misalnya: dibantu pakai sepatu, dipakaikan baju), tidak memperbolehkan anak sharing perasaan (anak tidak boleh nangis, marah, ada aturan bahwa boys don’t cry), dan terlalu bergantun & egois (sedikit-sedikit mama, tidak mau berbagi sesuatu dengan yang lain karena terbiasa main sendiri).Mendengarpenjelasantersebutdiatas, makakita para orang tuadapatmengkoreksidiri, PERNAHKAH ATAU SEBERAPA SERING KITA MEMPERLAKUKAN ANAK-ANAK KITA DEMIKIAN? Cara mendidik yang kurang tepat diatas bukanlah seratus persen kesalahan Anda, hal ini terjadi begitu saja seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya karena Anda sebagai orang tua secara tidak langsung hanya melakukan pengajaran seperti apa yang Anda alami sebagai anak di jaman dahulu.

Kita sebagai orang tua sering kali tidak menyadari apa yang telah kita lakukan pada putra/putri kita. Akan tetapi apabila hal tersebut kita lakukan berulang-ulang dan menahun maka hal tersebut akan berbahaya bagi tumbuh kembang anak secara psikologis. Berikut ini merupakan akibat yang akan ditimbulkan dari perasaan diskoneksi dan penolakan, 6 diantaranya adalah anak-anak akan merasakan isolasi social (anak akan menjadi kurang pergaulan, menyendiri, memojok), hampa (merasa kosong, tidak ada gairah), rendah diri (merasa tidak PD, merasa tidak cukup berbakat/tidak pintar dalam segala hal), tidak dapat mengungkapkan emosi (tidak ekspresif saat merasa bahagia/sedih/kecewa/khawatir dsb., flat-flat saja dengan apa yang dihadapi), merasa hancur dan gagal (selalu merasa gagal dan tidak bisa melakukan apa-apa atau merasa selalu sial), dan tidak aman & sulit mempercayai orang lain (selalu merasa curiga kepada orang yang berbuat baik, merasa was-was, tidak tenang)

Persepsi kita sebagai orang tua harus diperbaiki, bahwa apa yang orang tua ajarkan kepada kita tidak semuanya dapat kita terapkan di jaman sekarang ini. Jaman sudah berubah, kini saatnya orang tua mendidik dengan cara yang berbeda, pendekatan dengan anak harus dilakukan sedini mungkin. Jangan sampai anak mencari pelarian akan hal-hal yang mereka alami dengan cara-cara negatif karena langkah  pencegahan akan lebih mudah dibanding dengan mengobati.

Di sini Bu Alin dan Pak Jonson memberikan berbagai tips agar orang tua dapat lebih mengenal anak dengan mengenal PERSONALITY anak-anak kita. Ada 3 tipe personality yang perlu dikenali pada anak-anak kita, yaitu:

  1. Tipe menyerang/counter attack (diberi nasihat memberikan umpan balik/balasan, berani berargumen).
  2. Tipe menyerah/ surrender (menuruti apa yang orang tua katakan, tidak ada power untuk menolak/menerima/berargumen),
  3. Tipe menghindar/avoid (cuek, tidak peduli, tidak melakukan apa yang diinginkan orang tua, tidak berargumen, menghindari konflik).

Dengan mengenali tipe-tipe personality anak, maka orang tua diharapka dapat membimbing dan memperlakukan anak sesuai dengan karakter mereka sehingga anak-anak dapat tumbuh secara optimal di masyarakat nantinya.

Selain itu, orang tua juga perlu memperbaiki hubungan dan komunikasi dengan anak yaitu dengan lebih sering melakukan QUALITY TIME yang memberikan kesempatan bagi anak untuk bercerita dan mengungkapkan perasaannya kepada orang tua, juga agar orang tua tidak menyamaratakan semua anak karena pada dasarnya setiap anak memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Beberapa TUGAS yang juga diberikan Bu Alin dan Pak Jonson kepada orang tua antara lain:

  1. Latihan membangun hubungan dengan anak dengan melakukan makan bersama anak minimal 5x /minggu, kemudian memberikan kesempatan anak untuk menceritakan high (hal yang membuat senang/bangga/bahagia hari ini) and low (hal yang membuat sedih/kecewa/marah) mereka.
  2. Mengenalkan kepada anak tentang macam macam perasaan supaya mereka dapat mendeskripsikan perasaan mereka, seperti perasaan sedih, kecewa, diabaikan, takut, khawatir, dll.
  3. Mengenal Tipe Personality setiap anaknya (tipe menyerang/menyerah/menghindar).

Dengan TUGAS tersebut diharapkan orang tua dapat lebih memahami anak dan memperbaiki hubungan mereka. Karena kitasebagai orang tua pasti selalu menginginkan anak kita memiliki kehidupan yang lebih baik dari kita dan sukses dalam masa depannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat, mari kita mulai untuk mengubahnya dari diri kita sendiri sebagai orang tua untuk mulai menerima mereka apa adanya dan memiliki hubungan komunikasi yang sehat.