Kejahatan Seksual Anak, Salah Siapa?

Kejahatan seksual di Indonesia sudah memasuki fase darurat. Kasus yang menimpa YY, pelajar berumur 14 tahun di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, menjadi titik api pemicu naiknya konsen publik terhadap isu kejahatan seksual. Belum reda pemberitaan media terhadap peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan oleh 14 pemuda tersebut, kasus serupa menimpa EP (19). Pemerkosaan yang juga diakhiri dengan pembunuhan keji oleh tiga pemuda ini terjadi di kawasan pabrik plastik Tangerang.

Berbagai desakan dilayangkan pada pemerintah untuk membuat kebijakan yang mampu membuat pelaku kejahatan seksual jera. Akhirnya Presiden Jokowi menandatangi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Dibalik peristiwa tersebut, satu fokus yang perlu perhatikan adalah kenyataan bahwa peran anak bukan lagi sebagai korban, namun juga pelaku. Tujuh dari 14 pelaku pemerkosa YY dan seorang dari tiga pelaku pemerkosa EP masih berusia dibawah 18 tahun. Berdasar data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dikutip di Harian Kompas, kasus anak berhadapan dengan hukum di 2016 meningkat 15% dari tahun sebelumnya. Hingga 25 April kemarin, KPAI mencatat ada 298 kasus, dan 24 diantaranya adalah kasus anak sebagai pelaku kekerasan. Ini jelas pekerjaan rumah besar bagi lembaga pendidikan anak, khususnya sekolah dan keluarga.

Menanggapi fenomena tersebut, Emilia Tjandra, Ketua Yayasan Sekolah Growing Kid berpendapat bahwa peran keluarga sangat krusial dalam mencegah terjadinya hal-hal demikian.

“Sejak anak lahir, yang berperan mengisi pengetahuan dan membentuk karakter anak adalah orangtua. Orangtua yang tidak menjalankan dengan benar kedua peran ini dengan baik lah yang seringkali membuat anak terjerumus ke jalan yang salah. Keluarga yang menerapkan pola didik yang baik akan terhindar dari hal-hal yang demikian,”

Kesalahan pola didik yang sering terjadi ini, menurut Miss Emil dikarenakan oleh minimnya pengetahuan orangtua tentang bagaimana membesarkan anak. “Kebanyakan orangtua hanya berpikir bagaimana agar bisa memberi makan anaknya, padahal makanan yang paling penting adalah makanan yang sifatnya rohani. Kalau anak tidak diberi pendidikan rohani, walaupun badannya besar, anak tidak bisa dewasa. Anak jadi tidak bisa membedakan mana hal yang baik dan mana yang kelak akan merugikan diri anak sendiri,” imbuhnya.

Banyaknya orangtua yang memandang remeh akan hal tersebut juga dikarenakan adanya anggapan bahwa anak cukup mengenyam berbagai pendidikan di sekolah. Miss Emil menegaskan jika pandangan tersebut salah besar. Berbagai kegiatan yang diprogramkan sekolah perlu disosialisasikan secara jelas ke orangtua, agar orangtua pun siap mendidik dengan cara yang sama. “Didikan yang tidak diberikan secara konsisten, baik di sekolah maupun di rumah, tidak akan mencapai hasil yang maksimal,” tambah Miss Emil.

Di sekolah Growing Kid sendiri, Miss Emil mengimbuhkan, sosialisasi kepada orangtua selalu diberikan secara berkala setiap tahunnya. Agenda terdekat adalah Parents Gathering yang akan dilangsungkan 18 Juli mendatang. Selain akan memberitahukan dan mengevaluasi berbagai program non-kurikulum yang dilangsungkan Growing Kid, pada acara ini para orangtua murid juga akan mendapat poin-poin yang harus diperhatikan dalam mendidik anak. (DNA)

emil01

Emilia Tjandra
Founder

5 Kelalaian Orangtua Dekatkan Anak pada Kejahatan Seksual?